Sikap
Seorang Muslim Terhadap Kisah Isra’ Mi’raj
Berita-berita yang datang dalam
kisah Isra’ Miraj seperti sampainya beliau ke Baitul Maqdis, kemudian
berjumpa dengan para nabi dan shalat mengimami mereka, serta berita-berita lain
yang terdapat dalam hadits- hadits yang shahih merupakan perkara ghaib. Sikap ahlussunnah
wal jama’ah terhadap kisah-kisah seperti ini harus mencakup kaedah berikut
:
- Menerima berita tersebut.
- Mengimani tentang kebenaran berita tersebut.
- Tidak menolak berita tersebut atau mengubah berita tersebut sesuai dengan kenyataannya.
Kewajiban kita adalah beriman sesuai
dengan berita yang datang terhadap seluruh perkara-perkara ghaib yang Allah Ta’ala
kabarkan kepada kita atau dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.[1]
Hendaknya kita meneladani sifat para
sahabt radhiyallahu ‘anhum terhadap berita dari Allah dan rasul-Nya.
Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa setelah peristiwa Isra’ Mi’raj,
orang-orang musyrikin datang menemui Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Mereka mengatakan : “Lihatlah apa yang telah diucapkan temanmu (yakni Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam)!” Abu Bakar berkata : “Apa yang beliau
ucapkan?”. Orang-orang musyrik berkata : “Dia menyangka bahwasanya dia telah
pergi ke Baitul Maqdis dan kemudian dinaikkan ke langit, dan peristiwa tersebut
hanya berlangsung satu malam”. Abu Bakar berkata : “Jika memang beliau yang
mengucapkan, maka sungguh berita tersebut benar sesuai yang beliau ucapkan
karena sesungguhnya beliau adalah orang yang jujur”. Orang-orang musyrik
kembali bertanya: “Mengapa demikian?”. Abu Bakar menjawab: “Aku membenarkan
seandainya berita tersebut lebih dari yang kalian kabarkan. Aku membenarkan
berita langit yang turun kepada beliau, bagaimana mungkin aku tidak membenarkan
beliau tentang perjalanan ke Baitul Maqdis ini?” (Hadits diriwayakan oleh Imam
Hakim dalam Al Mustadrak 4407 dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha).[2]
Perhatikan bagaimana sikap Abu Bakar
radhiyallahu ‘anhu terhadap berita yang datang dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau langsung membenarkan dan mempercayai berita
tersebut. Beliau tidak banyak bertanya, meskipun peristiwa tersebut mustahil
dilakukan dengan teknologi pada saat itu. Demikianlah seharusnya sikap seorang
muslim terhadap setiap berita yang shahih dari Allah dan rasul-Nya.
Hikmah
Terjadinya Isra`
Apakah hikmah terjadinya Isra`,
kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak Mi’raj langsung
dari Mekkah padahal hal tersebut memungkinkan? Para ulama menyebutkan ada
beberapa hikmah terjadinya peristiwa Isra`, yaitu:
- Perjalanan Isra’ di bumi dari Mekkah ke Baitul Maqdis lebih memperkuat hujjah bagi orang-orang musyrik. Jika beliau langsung Mi’raj ke langit, seandainya ditanya oleh orang-orang musyrik maka beliau tidak mempunyai alasan yang memperkuat kisah perjalanan yang beliau alami. Oleh karena itu ketika orang-orang musyrik datang dan bertanya kepada beliau, beliau menceritakan tentang kafilah yang beliau temui selama perjalanan Isra’. Tatkala kafilah tersebut pulang dan orang-orang musyrik bertanya kepada mereka, orang-orang musyrik baru mengetahui benarlah apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Untuk menampakkan hubungan antara Mekkah dan Baitul Maqdis yang keduanya merupakan kiblat kaum muslimin. Tidaklah pengikut para nabi menghadapkan wajah mereka untuk beribadah keculali ke Baitul Maqdis dan Makkah Al Mukarramah. Sekaligus ini menujukkan keutamaan beliau melihat kedua kiblat dalam satu malam.
- Untuk menampakkan keutamaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan para nabi yang lainnya. Beliau berjumpa dengan mereka di Baitul Maqdis lalu beliau shalat mengimami mereka.[3]
Faedah
Kisah
Kisah yang agung ini sarat akan
banyak faedah, di antaranya :
- Kisah Isra’ Mi’raj termasuk tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla.
- Peristiwa ini juga menunjukkan keutamaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seluruh nabi dan rasul’alaihimus shalatu wa salaam
- Peristiwa yang agung ini menunjukkan keimanan para sahabat radhiyallahu’anhum. Mereka meyakini kebenaran berita tentang kisah ini, tidak sebagaimana perbuatan orang-orang kafir Quraisy.
- Isra` dan Mi’raj terjadi dengan jasad dan ruh beliau, dalam keadaan terjaga. Ini adalah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama, muhadditsin, dan fuqaha, serta inilah pendapat yang paling kuat di kalangan para ulama Ahlus sunnah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya : “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)
Penyebutan kata ‘hamba’ digunakan
untuk ruh dan jasad secara bersamaan. Inilah yang terdapat dalam hadits-hadits
Bukhari dan Muslim dengan riwayat yang beraneka ragam bahwa beliau shallallahu
‘alaihi wa salaam melakukan Isra` dan Mi’raj dengan jasad
beliau dalam keadaan terjaga.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata dalam Lum’atul I’tiqad “… Contohnya hadits Isra` dan Mi’raj,
beliau mengalaminya dalam keadaan terjaga, bukan dalam keadaan tidur, karena
(kafir) Quraisy mengingkari dan sombong terhadapnya (peristiwa itu), padahal mereka
tidak mengingkari mimpi”[4]
Imam Ath Thahawi rahimahullah
berkata : “Mi’raj adalah benar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salaam
telah melakukan Isra` dan Mi’raj dengan tubuh beliau dalam
keadaan terjaga ke atas langit…”[5]
- Penetapan akan ketinggian Allah Ta’ala dengan ketinggian zat-Nya dengan sebenar-benarnya sesuai dengan keagungan Allah, yakni Allah tinggi berada di atas langit ketujuh, di atas ‘arsy-Nya. Ini merupakan akidah kaum muslimin seluruhnya dari dahulu hingga sekarang.
- Mengimani perkara-perkara ghaib yang disebutkan dalam hadits di atas, seperti: Buraaq, Mi’raj, para malaikat penjaga langit, adanya pintu-pintu langit, Baitul Ma’mur, Sidratul Muntaha beserta sifat-sifatnya, surga, dan selainnya.
- Penetapan tentang hidupnya para Nabi ‘alaihimus salaam di kubur-kubur mereka, akan tetapi dengan kehidupan barzakhiah, bukan seperti kehidupan mereka di dunia. Oleh karena itulah, di sini tidak ada dalil yang membolehkan seseorang untuk berdoa, bertawasul, atau meminta syafa’at kepada para Nabi dengan alasan mereka masih hidup. Syaikh Shalih Alu Syaikh rahimahullah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salaam dalam Mi’raj menemui ruh para Nabi kecuali Nabi Isa ‘alaihis salaam. Nabi menemui jasad Nabi Isa karena jasad dan ruh beliau dibawa ke langit dan beliau belum wafat.[6]
- Banyaknya jumlah para malaikat dan tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah.
- Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga adalah kalimur Rahman (orang yang diajak bicara langsung oleh Ar Rahman).
- Allah Ta’ala memiliki sifat kalam (berbicara) dengan pembicaraan yang sebenar-benarnya.
- Tingginya kedudukan shalat wajib dalam Islam, karena Allah langsung yang memerintahkan kewajiban ini.
- Kasih sayang dan perhatian Nabi Musa’alaihis salaam terhadap umat Islam, ketika beliau menyuruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diringankan kewajiban shalat.
- Penetapan adanya nasakh (penghapusan hukum) dalam syariat Islam, serta bolehnya me-nasakh suatu perintah walaupun belum sempat dikerjakan sebelumnya, yakni tentang kewajiban shalat yang awalnya lima puluh rakaat menjadi lima rakaat.
- Surga dan neraka sudah ada sekarang, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat keduanya ketika Mi’raj.
- Para ulama berbeda pendapat apakah Nabi melihat Allah pada saat Mi’raj. Ada tiga pendapat yang populer : Nabi melihat Allah dengan penglihatan, Nabi melihat Allah dengan hati, dan Nabi tidak melihat Allah namun hanya mendengar kalam Allah.
- Pendapat yang benar bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj hanya berlangusng satu kali saja dan tidak berulang.
- Barangsiapa yang mengingkari Isra`, maka dia telah kafir, karena dia berarti menganggap Allah berdusta. Barangsiapa yang mengingkari Mi’raj maka tidak dikafirkan kecuali setelah ditegakkan padanya hujjah serta dijelaskan padanya kebenaran.
[1] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah
li Syaikh Shalih Alu Syaikh 444
[2] Lihat Syarh Al Ushuul Ats
Tsalatsah li Syaikh Shalih Fauzan 201
[3] Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah li Syaikh Shalih Alu Syaikh 451-452
[4] Lihat dalam Syarh Lum’atil I’tiqad li Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 58
[5] Matan ‘Al Aqidah Ath Thahawiyah
[6] Lihat dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah li Syaikh Shalih Alu Syaikh 454
Nuur ‘alaa Ad Darb.
[3] Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah li Syaikh Shalih Alu Syaikh 451-452
[4] Lihat dalam Syarh Lum’atil I’tiqad li Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 58
[5] Matan ‘Al Aqidah Ath Thahawiyah
[6] Lihat dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah li Syaikh Shalih Alu Syaikh 454
Nuur ‘alaa Ad Darb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar