Tanya Jawab Seputar Gelar Haji
Di Indonesia
biasanya orang yang sudah pernah melakukan ibadah haji, setelah pulang
ke kampung halamannya langsung mendapatkan gelar “Haji/Hajjah” di depan
namanya. Bagaimana sebenarnya hukum menggunakan gelar “Haji/Hajjah” dalam islam? Simak penjelasan beikut ini.
Fatwa Asy Syaikh Shalih As Suhaimi hafizhahullah [1]
Pertanyaan: Para Haji di tempat kami,
apabila seorang dari mereka telah kembali (ke daerahnya) tidak rela
dipanggil “Wahai fulan”, namun harus ditambah “Haji Fulan”?
Beliau menjawab: Ini perkara yang berbahaya sekali,
sebagiannya menggantungkan tanda di rumahnya, biar ia dipanggil “Haji
Fulan” dan meletakkan bingkai yang besar kemudian digantungkan di
rumahnya, atau di setiap sisi di ruang tamu. Tidak diragukan lagi, perbuatan seperti ini tidak boleh, dan dikhawatirkan akan menyeretnya kepada perbuatan riya’.
Para shahabat yang berjumlah 120.000, mereka juga telah menunaikan haji, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang digelari dengan “Pak Haji”. Na’am. [2]
Penjelasan Al Ustadz ‘Abdul Barr hafizhahullah
Pertanyaan: Bagaimana
dengan orang yang digelari dengan “Haji”? Karena hal ini sudah menjadi
predikat bagi orang yang sudah pernah pergi haji dan tidak mau dipanggil
kecuali dengan panggilan “Pak Haji”.
Jawaban: Penting bagi kita untuk mengetahui bahwa
pada dasarnya amalan yang diharapkan padanya pahala di sisi Allah,
amalan yang dilakukan seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah, itu
harus disembunyikan. Tidak mengandung harapan untuk dipuji atau
disanjung dan yang semisalnya, agar mendapatkan pahala di sisi Allah.
Karena amalan yang diterima di sisi Allah, selain dia itu sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia juga ikhlas karena Allah.
Dan diantara upaya seseorang untuk menjaga keikhlasan adalah tidak
mengungkit-ungkitnya dan tidak menginginkan sanjungan darinya.
Maka seorang yang pergi haji kemudian ingin dipanggil “Haji”, yang
jelas dan telah dimaklumi bahwa panggilan “Haji” di sini mengandung
pujian. Apalagi kalau sampai dia sudah pergi haji dan tidak mau
dipanggil kecuali dengan sebutan “Pak Haji”. Dikhawatirkan gugur
amalannya, tiada pahala di sisi Allah.
Ditambah lagi tidak seorang pun dari shahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, ataupun tabi’in (murid shahabat), tabi’ut tabi’in
(murid dari murid shahabat) dan ulama-ulama islam (yang menggunakan
gelar tersebut). Kita tidak pernah mendengar Haji Abu Bakar Ash Shiddiq,
Haji ‘Umar bin
Khaththab, Haji ‘Ali bin Abi Thalib, Haji ‘Utsman bin ‘Affan, dan juga
tidak pernah mendengar Haji Imam Syafi’i, Haji Imam Ahmad. Ini adalah
laqab-laqab yang tidak syar’i dan bertentangan dengan keikhlasan kepada
Allah Subhanahu wa ta’ala. Wallahu ta’ala a’lam.
Penjelasan Al Ustadz Hammad Abu Mu’aawiyah hafizhahullah
Pertanyaan: Saya
pernah mendengar bahwa penulisan gelar Haji di nisan tidak
diperbolehkan. Apakah pernyataan itu benar? Karena kami ada niatan
memberangkatkan haji bapak (mertua), namun tidak sempat karena beliau
sudah berpulang sebelum kami sempat menjalankan niatan kami. Dan
rencananya kami akan menghajikan beliau melalui orang lain, jadi ketika
membangun makam, di nisan beliau nantinya sedah dapat ditulis gelar
“Haji” di depan nama beliau. Mohon jawaban dan petunjuknya. Terimakasih.
Jawaban: Butuh kita ketahui bahwa gelar-gelar syar’i
hendaknya semua berpatokan dengan Al Qur’an dan Sunnah, karena masalah
penamaan termasuk masalah yang diatur oleh syari’at islam. Maka demikian
pula untuk menetapkan nama syar’i juga dibutuhkan dalil dari Al Qur’an
dan Sunnah.
Misalnya seorang memiliki gelar islam, dia muslim atau dia mu’min,
ini jelas tidak ada masalah jika mengatakan si fulan muslim atau si
fulanah muslimah, dia mu’min atau dia mu’minah. Karena ada nash tentang
gelar muslim. Demikian pula para shahabat yang di Makkah yang hijrah ke
madinah digelari dengan Al Muhajirun, dan para shahabat yang di madinah
digelari dengan Al Anshor, ini juga ada nash dari Al Qur’an dan Sunnah.
Sekarang setelah kita pahami bahwa semua gelar seharusnya berdasarkan
dalil syar’i, tentunya gelar-gelar yang berhubungan dengan agama.
Adapun gelar- gelar yang tidak berhubungan dengan agama maka tidak butuh
adanya keterangan dalil. Misalnya gelarnya DR, Prof, dan seterusnya.
Ini tidak ada hubungannya dengan agama. Akan tetapi gelar muslim,
mukmin, al muhajirun, al anshor ini berkaitan dengan agama.
Sekarang masalah gelar “Haji”, apakah dia berkenaan dengan gelar
duniawiyyah ataukah berkenaan dengan gelar agama. Tentunya bisa
dipastikan bahwa gelar “Haji” ini termasuk gelar-gelar yang berkaitan
dengan agama. Buktinya tidak sembarang orang bisa mendapatkan gelar ini,
mereka yang bergelar dengan “Haji” hanyalah mereka yang sudah
mengerjakan haji di Baitullahil Haram. Maka di sini kita mengatakan
bahwa “Haji” ini termasuk gelar-gelar yang berkenaan dengan agama.
Setelah mengetahui bahwa “Haji” merupakan gelar yang berkenaan dengan
agama. Apakah ada dalil dari Al Qur’an dan Sunnah yang menerangkan
gelar ini? Apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di depannya ada
gelar “Haji” Muhammad”? Atau misalnya, Abu Bakar Ash Shiddiq dikatakan
Haji Abu Bakar, Haji ‘Umar, Haji ‘Utsman, Haji Ali
dan seterusnya. Apakah ada shahabat yang mengerjakan hal tersebut?
Apakah ada ulama tabi’in yang seperti itu? Apakah ada ulama tabi’ut
tabi’in yang bergelar seperti itu? Maka jawabannya tidak ada sama
sekali. Maka gelar “Haji” ini merupakan gelar yang tidak ada dalilnya
sama sekali, tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para shahabatnya.
Seandainya gelar ini baik maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
akan menggelari diri beliau dengannya, dan Nabi akan menggelari para
shahabat dengan gelar “Haji” ini. Tapi tatkala tidak ada sama sekali
dari mereka (yang melakukan hal tersebut) maka itu menunjukkan bahwa
gelar-gelar ini tidak dibutuhkan dan tidak sepantasnya disematkan pada
seseorang. Maka ini adalah masalah yang pertama, bahwa gelar “Haji” ini
tidak ada landasan dalil sama sekali, sehingga tidak boleh bergelar
dengannya.
Masalah berikutnya bahwa haji ini merupakan ibadah yang agung, yang
dituntut untuk seseorang ikhlas di dalamnya. Dan barangsiapa yang tidak
ikhlas dalam hajinya maka dia telah terjatuh ke dalam kesyirikan dan
hajinya tidak sah. Sementara memberikan penamaan atau gelar-gelar “Haji”
ini adalah wasilah atau sarana untuk membuka pintu-pintu riya’ atau
sum’ah, ingin didengar atau diketahui kalau dia sudah haji. Dan ini akan
nampak, misalnya ketika dia disebut namanya tanpa ada penyebutan “Haji”
di depannya, maka dia merasa tidak enak, dia merasa kecewa dengannya,
dia merasa tidak senang dengan orang tersebut.
Maka ini menunjukkan dia ada riya’, dia telah berbuat riya’ dan
sum’ah pada hajinya. Maka menggelari dengan “Haji” ini membuka
pintu-pintu riya’, sum’ah dan kesyirikan. Di mana seorang merasa hebat,
merasa bangga, ‘ujub, merasa kagum dengan dirinya ketika dia sudah haji,
atau ingin diketahui bahwa dia sudah haji. Ini semua merupakan wasilah
yang bisa menghantarkan kepada kesyirikan. Dan tentunya kita tidak ingin
orang tua kita yang sudah meninggal mendapatkan kesalahan karena
perbuatan kita.
Kemudian masalah yang ketiga, haji itu kalah utama dibandingkan
shalat, shalat jauh lebih utama dibandingkan haji. Zakat jauh lebih
utama dibandingkan haji, puasa lebih utama dibandingkan haji. Akan
tetapi seandainya gelar-gelar “Haji” disyari’atkan, kenapa hanya
menggunakan “Haji” tidak sekalian “Shalat”? Misalnya dikatakan Haji
Ibrohim, kenapa tidak dikatakan Shalat Ibrohim atau Zakat Ibrohim,
padahal shalat lebih utama dibandingkan haji. Ini tentunya karena adanya
status tersendiri yang disandang oleh orang yang bergelar “Haji” ini.
Maka ini merupakan riya’, keinginan untuk dipuji atau ingin didengar.
Maka sekali lagi hendaknya menggelari dengan gelar-gelar seperti ini,
baik dia masih hidup apalagi sudah meninggal, hendaknya ditinggalkan.
Karena ini tidak mendatangkan kebaikan sama sekali, justru bisa
memudhorotkan dirinya dengan terjatuh ke dalam riya’ atau sum’ah atau
kejelekan-kejelekan yg lain.
Adapun masalah menghajikan orang tua melalui orang lain, maka ini membutuhkan penjelasan tersendiri.
Wallahu a’lamu bish shawab.
Wallahu a’lamu bish shawab.
__________________
[1] Beliau adalah seorang Pengajar di Masjid Nabawi, Madinah Nabawiyyah.
[2] Warisan Salaf
[1] Beliau adalah seorang Pengajar di Masjid Nabawi, Madinah Nabawiyyah.
[2] Warisan Salaf
Sumber:
Diambil dari :
http://kaahil.wordpress.com/2011/09/17/hukum-memakaimenyematkan-gelar-hajihajjah-di-depan-nama-dikhawatirkan-akan-menyeretnya-kepada-perbuatan-riya%E2%80%99/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar